Kalau dulu ruang kelas adalah pusat utama dalam mencari ilmu, kini situasinya sudah jauh berbeda. Generasi Z — mereka yang lahir di era digital — tumbuh dengan teknologi di tangan, akses informasi tanpa batas, dan cara berpikir yang jauh lebih cepat.
Namun, sistem pendidikan di banyak tempat masih bertahan dengan sistem belajar konvensional: duduk di kelas, mendengarkan guru, mencatat, lalu menghafal untuk ujian. Cara ini mungkin efektif di masa lalu, tapi kini mulai terasa usang bagi generasi yang hidup di dunia serba interaktif dan instan.
Pertanyaannya, kenapa sistem ini mulai di tantang oleh Generasi Z? Mari kita bahas lebih dalam.
1. Generasi Z Tidak Hanya Mau Tahu, Tapi Mau Paham
Generasi Z tidak puas hanya dengan hafalan. Mereka ingin tahu kenapa sesuatu bisa terjadi, bukan hanya apa yang harus diingat.
Dalam sistem belajar konvensional, metode yang sering di gunakan masih berfokus pada teori dan ujian. Tapi Gen Z lebih menyukai pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning), di mana mereka bisa langsung praktik dan melihat hasilnya.
Contohnya, mereka lebih memilih membuat proyek atau eksperimen nyata daripada sekadar membaca teori di buku teks. Bagi mereka, belajar adalah tentang menemukan makna, bukan sekadar mengejar nilai.
2. Teknologi Sudah Jadi Guru Kedua
Salah satu alasan utama kenapa sistem belajar konvensional mulai di tantang adalah karena teknologi telah mengubah segalanya.
Kini, Gen Z bisa belajar apa pun hanya lewat YouTube, TikTok Edu, Coursera, atau Khan Academy. Mereka tidak lagi harus bergantung sepenuhnya pada guru di kelas. Ketika informasi begitu mudah di akses, peran guru tidak lagi sebagai “sumber pengetahuan utama”, melainkan sebagai mentor atau fasilitator belajar.
Bagi Gen Z, belajar tidak harus selalu di sekolah. Mereka bisa belajar coding dari YouTube, desain dari Instagram, atau bisnis dari podcast. Fleksibilitas ini membuat sistem lama terasa kaku dan membatasi potensi mereka.
3. Belajar Harus Relevan dengan Dunia Nyata
Salah satu kritik terbesar terhadap sistem belajar konvensional adalah kurangnya relevansi antara apa yang di ajarkan di kelas dengan kehidupan nyata.
Generasi Z tumbuh di masa yang penuh ketidakpastian, dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang begitu cepat. Mereka sadar bahwa kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas jauh lebih penting daripada sekadar hafalan rumus atau definisi.
Itulah kenapa mereka lebih tertarik pada model pendidikan yang fokus pada problem solving dan project-based learning, bukan sekadar mencatat dan mengerjakan soal.
Baca Juga: 8 Strategi Guru Modern agar Siswa Betah di Kelas
4. Kebebasan dan Fleksibilitas Adalah Kunci
Generasi Z punya gaya hidup yang berbeda. Mereka menghargai kebebasan, ingin menentukan ritme belajarnya sendiri, dan tidak suka di batasi oleh struktur yang terlalu kaku.
Sementara sistem belajar konvensional masih menekankan jam belajar tetap, sistem nilai yang seragam, dan standar yang sama untuk semua siswa.
Padahal, setiap pelajar punya kecepatan dan gaya belajar berbeda. Ada yang cepat paham lewat visual, ada yang butuh diskusi, ada juga yang belajar lebih baik lewat praktik langsung.
Gen Z lebih cocok dengan model belajar hybrid atau blended learning yang memberi mereka pilihan — kapan, di mana, dan bagaimana mereka ingin belajar.
5. Sistem Lama Tidak Selalu Mendorong Kreativitas
Salah satu kelemahan utama sistem belajar konvensional adalah terlalu menekankan hasil akhir, bukan proses berpikir.
Di banyak sekolah, siswa sering merasa takut salah. Mereka diajarkan untuk mengikuti aturan, bukan menantang batas. Akibatnya, kreativitas dan inovasi yang menjadi kekuatan Gen Z justru tidak tersalurkan dengan baik.
Gen Z hidup di era di mana ide bisa menghasilkan peluang besar — lihat saja para content creator, inovator muda, dan startup founder yang sukses di usia belasan tahun. Mereka butuh sistem pendidikan yang mendorong mereka berpikir out of the box, bukan sekadar menyalin jawaban di papan tulis.
6. Generasi Z Lebih Mengutamakan Kolaborasi daripada Kompetisi
Dalam sistem belajar konvensional, sering kali penilaian di buat secara individual dan kompetitif. Nilai tinggi di anggap sebagai simbol keberhasilan, sementara siswa dengan nilai rendah di anggap gagal.
Namun, Gen Z justru tumbuh dalam budaya kolaboratif — mereka lebih suka belajar bersama, berbagi ide, dan tumbuh lewat interaksi sosial.
Platform seperti Discord, Notion, dan Google Workspace adalah contoh nyata bagaimana mereka suka bekerja dalam tim, meskipun secara daring. Maka, pendekatan kolaboratif lebih sesuai bagi mereka daripada sistem yang menonjolkan persaingan.
7. Mereka Ingin Belajar yang Berdampak Nyata
Generasi Z di kenal sebagai generasi yang sadar sosial. Mereka peduli pada isu lingkungan, keadilan sosial, dan masa depan planet ini. Maka, mereka ingin belajar hal-hal yang punya dampak langsung pada dunia nyata.
Sementara itu, sistem belajar konvensional sering kali terjebak dalam teori dan ujian tanpa konteks kehidupan. Gen Z ingin tahu bagaimana pelajaran mereka bisa di gunakan untuk menyelesaikan masalah nyata — bukan hanya sekadar menjawab soal ujian nasional.
Program seperti service learning (belajar sambil berkontribusi pada masyarakat) atau real-world projects menjadi lebih menarik dan relevan bagi mereka.
8. Model Pendidikan Baru Mulai Bermunculan
Perubahan cara belajar Generasi Z juga memicu lahirnya berbagai inovasi pendidikan. Banyak sekolah dan kampus kini mulai meninggalkan metode lama dan beralih ke pendekatan baru seperti:
-
Blended Learning: kombinasi antara belajar online dan tatap muka.
-
Project-Based Learning: siswa belajar lewat proyek nyata, bukan sekadar teori.
-
Flipped Classroom: siswa belajar teori di rumah lewat video, dan waktu di kelas di gunakan untuk diskusi serta praktik.
-
Gamifikasi: pembelajaran yang di buat seperti permainan agar lebih menarik dan interaktif.
Semua model ini berusaha menjawab kebutuhan Gen Z yang haus pengalaman, bukan hanya pengetahuan.
9. Generasi Z Tidak Takut Mengkritik Sistem
Jika dulu siswa cenderung diam dan menerima apa adanya, kini tidak lagi. Generasi Z berani menyuarakan pendapat mereka. Mereka menuntut sistem yang lebih terbuka, adil, dan mendukung kebebasan berekspresi.
Bagi mereka, sistem belajar konvensional yang terlalu otoriter tidak lagi relevan. Mereka ingin ruang di mana suara mereka di dengar, ide mereka di hargai, dan kreativitas mereka di hormati.
Mereka tidak ingin hanya menjadi “produk” dari sistem pendidikan, tapi ingin menjadi bagian dari perubahan sistem itu sendiri.